Hidayatullah.com–Bagi orang beriman, setiap
yang terdapat dalam ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah mukjizat secara
mutlak. Mulai dari kandungan makna sebagai rahmat bagi seluruh alam
semesta (
shalih li kulli zaman wa makan).
Pun berbagai mukjizat tersebut ada dalam setiap pemilihan kalimat, kata, bahkan pada setiap huruf al-Qur’an sekalipun.
Untuk itu, Abu al-Hayyan al-Andalusi, penulis
Tafsir al-Bahru al-Muhith fi at-Tafsir,
sebagaimana dinukil oleh Mufassir Muhammad Ali ash-Shabuni, secara
khusus menerangkan keindahan sastra kitab suci al-Qur’an dari sisi ilmu
Bayan. Berikut penjelasannya:
Kesatu : Pembukaan dan awal yang indah (husnu
al-iftitah wa bara’ah al-mathla’). Tak lain karena surah al-Fatihah
diawali oleh lafadz “bismillah”. Nama Allah yang agung yang setiap
Muslim patut memohon berkah nama tersebut dengan senantiasa melafadzkan
nama-Nya
Kedua : Pujian yang sempurna kepada Allah
(al-mubalaghah fi ats-tsana). Hal itu tampak dari penggunaaan huruf alim
lam (makrifah) pada kata “al-hamdu”. Oleh Abu al-Hayyan, pujian
tersebut dengan sendirinya meredupkan bahkan melenyapkan seluruh yang
lain di luar Sang Khaliq.
Ketiga : Variasi khithab (talwin al-khithab).
Sepintas redaksi kalimat “al-hamdu lillahi” adalah uslub khabar
(pernyataan) yang berarti segala puji bagi Allah. Namun, dengan
kehalusan bahasa al-Qur’an, justru ia sejatinya dimaknai sebagai
perintah dan kewajiban atas setiap hamba untuk memperbanyak pujian dan
syukur kepada Allah.
Keempat : Makna al-ikhtishash (pengkhususan). Hal
itu ditandai dengan adanya huruf alim lam pada kata “lillahi” yang
bermakna seluruh pujian itu hanya bisa dipunyai oleh Allah dan tak ada
yang berhak memilikinya selain Allah.
Kelima : Adanya al-hazf (penghapusan sebagian kata).
Dalam hal ini terdapat pada kata “shirath” dalam firman Allah “ghairi
al-maghdhubi alaihim wa la adh-dhallin”. Sebenarnya secara asal, kalimat
itu berbunyi begini: “ghairi shirath al-maghdhubi alaihim” bukan jalan
orang-orang yang dimurkai dan “ghairi shirath adh-dhallin” bukan jalan
orang-orang yang tersesat (tetap menyebutkan kata shirath (jalan) itu).
Keenam : Terdapat taqdim (mengedepankan) dan ta’khir
(mengakhirkan). Hal ini terjadi dalam ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in”. Sebab asalnya kalimat itu bisa disederhanakan seperti ini
saja, “na’budu iyyaka wa nasta’inu iyyaka.”. Keindahan bahasa yang sama
terjadi di ayat “ghairi al-maghdhubi alaihim wa la adh-dhallin”.
Ketujuh : Menjelaskan apa yang sebelumnya tersamar
(at-tashrih ba’da al-ibham). Kehalusan bahasa tersebut bisa dinikmati
dalam ayat “ihdina ash-shirath al-mustaqim, shirath al-ladzina an’amta
alaihim”. Di mana makna jalan yang lurus itu (ash-shirath al-mustaqim)
dijelaskan dengan kalimat berikutnya, yaitu jalan orang-orang yang
Engkau beri nikmat (shirath al-ladzina an’amta alaihim)
Kedelapan : Menarik fokus dan perhatian
(al-iltifat). Sensasi bahasa yang sangat halus ini bisa dirasakan pada
ayat “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Bahwa (benar-benar) hanya
kepada-Mu kami menyembah dan (benar-benar) hanya kepada-Mu kami meminta
pertolongan.
Kesembilan : Meminta sesuatu tanpa bermaksud untuk
mendapatkannya, tetapi semata memohon kelanjutan dan eksistensi hal
tersebut. Contohnya terdapat dalam ayat “ihdina ash-shirath
al-mustaqim”. Bahwa ketika seorang hamba memohon dalam doa tersebut,
bukan berarti ia belum memiliki hidayah dan tidak mengetahui jalan lurus
tersebut. Tapi ia berdoa agar hidayah tersebut senantiasa bersemi dalam
hatinya dan ia mampu menapaki jalan lurus yang telah membentang di
hadapannya itu.
Kesepuluh : Adanya keselarasan yang indah pada
setiap akhir kata. Hal tersebut bisa dinikmati dalam kalimat “ar-rahman
ar-rahim” dengan “ash-shirath al-mustaqim”. Bisa dikata kedua kalimat
tersebut sama-sama berakhiran bunyi “im”.*/
Masykur Abu Jaulah